Postmodernisme dalam
Konteks Indonesia
by: Tatang Agus Bahri
by: Tatang Agus Bahri
Jika kita melihat dan menelaah konteks
politik hari ini, masalah posmodernisme juga kerap muncul. Modernisme dengan
konsep universalitasnya menghendaki semua negara menerapkan sistem demokrasi.
Namun demokrasi yang diperjualbelikan
adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika
Serikat juga didaulat, maka tidak pantas disebutkan mendaulatkan diri, sebagai
negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti
Amerika Serikat, maka Sistem demokrasi harus dianut terlebih dahulu. Jadi,
negara manapun yang ingin menghargai hak asasi warganya harus menerapkan sistem
demokrasi ala Amerika. Ini dikarenakan Amerika lagi-lagi dianggap sebagai
negara terdepan dalam pengimplementasian demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih
menjadi anggota United Nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
Tidak ada masalah jika negara anggota United
Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika
demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak
langsung, mereka telah menafikkan sistem lain seperti Khilafah dan sistem
politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka suatu
negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi.
Barang siapa (negara) tidak mau menjunjung tinggi HAM—tidak mau menganut
demokrasi—maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia. Sanksi dapat
beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan
umat manusia.
Para postmodernis melihat proyek
pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari modernisme. Ini terlihat dalam
modernisme sendiri terdapat satu ciri penting: universalisme dalam segala
bidang. Selain universalisme, ada juga karakter penting dari modernisme:
Oposisi Binner—jika A benar maka B salah. Modernisme beranggapan bahwa
demokrasi Amerika sudah benar, maka sesuai dengan prinsip Oposisi Binner, semua
sistem diluar itu adalah SALAH.
Tentu mustahil untuk menerapkan satu sistem
yang dengan diwajibkan bagi setiap negara dengan pluratisa dan warna yang
beragam. Seperti halnya Inggris, negara ini masih menganut sistem kerajaan.
Selain itu juga dengan Indonesia dengan multikulturalisme yang sangat beragam.
Dalam konteks ini, postmodernisme menawarkan satu prinsip baru: Paralogi.
Paralogi adalah bahwa semua bias hidup dalam keberagaman. Keberagaan ini
dibingkai dalam prinsip multikulturalisme, seperti prinsip Indonesia: Bhineka
Tunggal Ika—berbeda-beda tetapi tetap satu jua..
0 comments:
Post a Comment