Ruang Publik, Legitimasi Kaum Borjuasi
by Ahmad Riyadi
by Ahmad Riyadi
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXw1UVA5Qni3hZGNcHQtosJHHzP1IpQxIgpUIerscKAev1X34yT4hj7hZmxdWcUip-4eRxAy8LRC6-TaEeBTnf9oxrvvNkKw1s12ZduBpu5zyppUw5jkMMc1mFFv19gfRSfZ-unCEWUGx3/s1600/images.jpg)
Begitulah
perjalanan sejarah yang menciptakan ruang baru, sebuah ruang yang ‘dianggap’
mampu dinikmati semua kalangan masyarakat, Habermas menyebutnya Ruang Publik (Public
Sphere). Ini merupakan sebuah ruang yang menurut Habermas ditujukan untuk
individu atau masyarakat dengan mendapatkan peluang yang sama.
Ruang Publik
awalnya ditempati dan dikuasai oleh kaum borjuasi setelah runtuhnya rezim
absolutisme. Pergeseran ruang oleh kaum borjuasi tersebut terletak diantara
tidak ‘wah’nya peran istana yang gemilang. Sehingga demikian kaum borjuasi
melalui ruang publik (salon, tempat ngopi, pasar, museum, dll) menindaklanjuti
legitimasinya di ruang publik tersebut.
Dengan demikian
masyarakat biasa menganggap ini peluang untuk ‘sama-sama’ menikmati
kegemilangan publik. Terbukti dengan banyaknya masyarakat akhir-akhir ini
menyerupai atau meniru baik itu tindakan, fashion, maupun cara berfikir
dengan kaum borjuasi. Padahal, Ruang Publik yang digagas oleh habermas berharap
bahwa ruang ini murni berdasarkan being dari individu atau mansyarakat
itu sendiri.
Pelestarian
ruang publik tidak hanya terhenti melalui keberadaan realitasnya. Melalui
iklan, aksesoris, media, dan terutama melalui opini publik untuk menguatkan
legitimasi kaum borjuasi. Perdebatan panjang mengenai opini publik terus
mengalami dialektika. Hegel menganggap opini publik sebagai kesadaran bersama
melalui hati nurani. Pendapat Hegel ini berbeda dengan Karl Marx. Karl Marx
menyebut opini publik sebagai kesadaran palsu masyarakat yang pasti bersifat
menipu.
Meskipun
demikian, ruang publik bagi Karl Marx membutuhkan kesadaran penuh agar tidak
menciptakan alienasi. “Kabar” ini menyampaikan kesan politis yang berujung pada
Sosialisme yang menjadi tujuan Marx sebagai wujud mencapai penghapusan konsep
negara. Hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan Hegel. Hegel sangat
mempercayai dengan menjadikan opini publik sebagai kesadaran bersama, maka akan
terwujud kesadaran ‘kritis’ masyarakat sipil.
J.S.Mills juga
menyebutkan opini publik sebagai pemaksaan terhadap pekerja kasar (buruh) untuk
beraktualisasi di tempat tersebut. Sehingga Mills menyebutnya sebagai tindakan
sebagai tidak karuannya masyarakat sipil. Dalam artian tidak ada kejelasan
masyarakat sipil terhadap kaum borjuasi yang mengerucut pada melepurnya
masyarakat sipil terhadap kaum borjuasi yang merugikan masyarakat sipil itu
sendiri.
0 comments:
Post a Comment