Pemikiran Emile Durkheim tentang Agama
By: Adriansyah M. Puasa
By: Adriansyah M. Puasa
Emile Durkheim adalah seorang
fungsionalist, dia memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang organis.
Individu tidak bisa terlepas dari masyarakat. itu merupakan suatu hal mutlak
yang berlaku dalam proses kehidupan. Ketika individu menjadi bagian dari
masyarakat, maka dia harus beradaptasi agar bisa diterima. Disinilah
kiranya apa yang menjadi fokus kajian ilmuan sosial khususnya tokoh yang akan kita bicarakan
ini. Masyarakat bagi Durkheim merupakan alat yang menghambat seorang individu
dalam bertindak semaunya.
Pranata sosial dan struktur sosial
menjadi sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan sosial.
Kedua hal tersebut menurut Durkheim adalah apa yang seharusnya menjadi objek
kajian dari ilmu sosiologi yang digagasnya. Ia meneruskan apa yang diusahakan oleh ilmuan sebelumnya (Aguste
Comte, Harbert Spencer). Dia menyebutnya sebagai fakta sosial. Kemudian membaginya
dalam due tipe yakni :
1.
Fakta
sosial materi, misalnya hukum, arsitektur. Keduanya dapat diamati sebab
memiliki wujud yang nyata.
2.
Fakta
sosial non-materi, misalnya egoism, opini . keduanya lebih bersifat
intersubjektif dan hanya muncul dalam kesadaran manusia (George Ritzer.hal.14-15)
Dengan asumsi dan pandangan Durkheim
tentang ilmu sosiologi sebagai ilmu yang menjadikan fakta sosial sebagi objek
kajian, maka kemudian apa saja yang membentuk seorang individu adalah mutlak
kajian sosiologi. Namun
dalam hal ini sesuatu yang membentuk individu dan fakta sosial tersebut adalah
suatu yang bersifat mempengaruhi dan memaksa seorang individu dalam berprilaku. Pranata sosial dan struktur sosial menjadi pembentuk seorang
individu, dalam hal ini nilai-nilai dalam masyarakat akan kita anggap sebagai
pranata sosial dan kemudian wadah atau suatu komunitas yang memaksakan nilai
tersebut tertanam kedalam individu kita sebut sebagi struktur. Misalnya jika
kita menganggap adat sebagai
pegangan maka dalam hal ini adat adalah pranta dan kerajaan sebagai struktur, sebab perangkat kerajaan merupakan alat dalam memaksakan nilai
adat terhadap individu—seperti itu
juga jika kita memandang agama dalam prespektif Durkheim kiranya. Agama
merupakan sebuah pegangan nilai dengan seperangkat aturan serta struktur yang
memaksakan aturan tersebut terhadap seorang individu. Dalam pandangan Durkheim semua agama pada dasarnya
berangkat dari mental yang sama, yaitu mental kolektifitas. Agama merupakan semacam tatanan nilai yang menjaga kehidupan
kolektifitas. Di sini
Durkheim menyebutkan bahwa agama merupakan
representasi dari masyarakat.
“…mitologi dipresentasikan
dengan berbagai bentuk dan cara, tapi merupakan sebab objektif, universal dan
abadi dari pencerapan-pencerapan sui generis yang menjadi bahan baku pengalaman
religious – ini tidak lain tidak bukan adalah masyarakat.” (Emile Durkheim,The
Elmentry Form and Religious Life. hal.597-598)
Durkheim melihat bahwa kesadaran
kolektif lah yang menjadi dasar dari kemunculan agama, kesadaran kolektif ini
hanya bisa ditemukan jika individu-individu berkumpul—disana akan kita temukan energi yang keluar dari individu-ibdividu ini adalah sebenarnyanya
pengungkapan emotif pemujaan terhadap masyarakat.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0mABYGiZtH8MEqmvsNwBEFomHKVvmbt1Wkcl079u-DlQ7TUI4Mv345RjQ8eeBjL2jdJMiN9FZvtmR1UHJDgDLGCBEkhHsWOICvq4vjSIza6bbDtS7OLIUwRnuqg1mPItyYUp3zN3SXgTx/s1600/emile.jpeg)
1. Simbol (totem).
Totem adalah suatu lambang
yang menjadi identitas bersama dalam suatu agama atau sistem kekeluargaan. Misalnya pohon, batu, matahari dll.
2.
Ritual.
Setiap agama pasti memiliki sitem ritual, misalnya shalat. kurban, pembabtisan,
proses inisiasi dll.
3.
Tabo.
Tabo adalah semacam larangan dalam suatu agama.
4. Mitos
dan legenda. Mitos dan legenda pasti akan kita temukan dalam agama manapun,
baik itu lewat lisan maupun teks.
5. Yang
sakral dan yang profan. Dalam agama ada yang disebut dengan dunia fana (supranatural) dan profan (dunia nyata), namun ini konteksnya
bisa lebih luas. Misalnya
dalam dunia agama tradisional Australia, dan lain sebagainya ada hal yang
dianggap sakral dalam dunia profan.
Setiap masyarakat di suku Arunta memiliki totem berdasarkan garis klannya, entah itu bersifat patriarkis atau matriarkis. Totem
merupakan identitas kesukuan yang akan terus diwariskan kepada anggota klan
baru. Ketika seorang anggota baru telah mencapai usia yang cukup, maka akan dilakukan proses inisiasi. Proses
ini meskipun dengan beragam bentuk, namun substansinya adalah pengenalan
terhadap anggota baru dengan dunia yang sakral. Dalam hal ini juga terdapat energi dari religiusitas
itu sendiri yang
diperkenalkan kepada anggota tersebut. Proses ini bersifat tertutup
hanya untuk kalangan lelaki yang dianggap telah cukup pantas untuk memasuki
dunia sakral. Terdapat juga semacam ritual yang memang sangat khidmat didalamnya. Perangkat dan rangkaian ritual ini merupakan warisan leluhur yang
terus diulang-ulang. Ini juga seperti proses pengulangan mitos atau legenda
yang ada di masyarakat, semacam teatrikal perjalanan tokoh mistis, tokoh mistis
yang menjadi wujud dari tokoh ideal atau juga mungkin tokoh nyata yang pernah
hidup namun sifatnya agak metaforis. Hal ini disebabkan
karena sistem ritual ini sangat idealitas, sehingga perjalanan ini bukanlah
sebuah perjalanan begitu saja dalam dunia riil. Totem juga merupakan suatu lambang yang harus disakralkan oleh
pewarisnya, sehingga misalnya jika seorang bertotem kanguru misalnya, maka
hewan itu akan sakral dan menjadi tabo untuk dikonsumsi olehnya. Entah itu
pemujaan yang bersifat negatif ataupun positif
(dalam arti tujuannya), didalamnya
akan selalu ada lambang
yang sifatnya memiliki mana atau kramat.
Melalui karya-karyanya Emile Durkheim memberikan sumbangsi yang sangat besar bagi dunia ilmu pengetahuan,
khusunya sosiologi. Apa
yang disampaikan oleh Durkheim mendapatkan kritikan yang sangat banyak di era
sekarang ini, namun teori-teorinya masih sering digunakan baik itu dalam ruang
akademis maupun praktisi.
0 comments:
Post a Comment