Counter

Flag Counter

Suasana Diskusi Altaris

Pemecahan kegalauan bersama-sama.

antusiasme saudara Yogi

diskusi yang tiada habisnya.

Kemeriahan Diskusi para Altaris

Sebuah Diskusi Pencerahan.

Semangat para Altaris

Saat klimaks.

Serius tetapi santai brooo.....

Segelas kopi, sebatang rokok, dan bermacam gorengan menemani dinginnya malan.

Kemeriahan para Altaris

Kompak selalu.

Antusias Putra

Sok Sedikit Serius..... hahaha.

The Thinking of Confusing

Pusing Ria Bersama.

Puasa feat Rifa'i

Duet maut yang sangat Meyakinkan.

Monday, February 24, 2014

Wall Street, Antara yang Nyata dan Ilusi



Wall Street, Antara yang Nyata dan Ilusi
by Muhammad Aqibun Najih
“Realitas sekarang tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menggambarkan penampakan realitas; realitas menangkap setiap mimpi bahkan sebelum ia menggambarkan penampakan mimpi” (Baudrillard 1983: 152).
Film ‘Wall Street’ karya Oliver Stone ini mendapatkan perhatian yang luar biasa oleh banyak tokoh. Film yang diluncurkan pada 3 Desember 1987 ini juga mendapatkan apresiasi dari dua faktor: reputasi Oliver Stone sebagai seorang sutradara dan penulis naskah baru Hollywood, dan masalah yang diangkatnya.
Wall Street mempersembahkan sebuah fenomena menarik yang terjadi di Amerika pada tahun 1980an, yakni persaingan perusahaan pialang. Bud Fox, tokoh utama dari kelas pekerja, mengutarakan mimpinya: “Mimpi saya adalah suatu ketika berada di puncak segalanya.” Film yang mulai dibuat pada tahun 1985 ini menampilkan ambisi seorang kalangan pekerja yang ingin sukses secara instan lewat pialang (jual-beli saham).
“Ilusi telah menjadi nyata, dan semakin nyata ilusi tersebut, semakin nekat orang menginginkannya” (kata Gordon Gekko)
Ya, Gordon Gekko adalah tokoh pialang korup yang didolakan Bud. Karena sifat fanatis pada Gekko, Bud pun mengikuti segala petuah yang diujarkan Gekko—bahkan untuk membeli 200 saham Bluestar milik ayahnya. Informasi, istilah ini sangat penting dalam perusahaan mereka. Dengan informasi mereka dapat menjalankan bisnis gelap yang memang “menguntungkan.” Tetapi Bud kemudian akhirnya tertangkap karena melakukan perdagangan saham gelap yang telah dirintis oleh Gekko. Setelah berada di pengadilan, akhirnya Bud diberi pengampunan oleh ayahnya walaupun akhirnya tetap ditahan karena kesalahnnya.
Inilah yang dimaksud dengan “Wall Street”. Sebuah tempat dimana ekonomi politik tak henti-hentinya berputar di sekitar ruang komputer imajiner dengan mahluk-mahluk imajiner dan tak ada lagi yang nyata. Uang dalam konteks ini pun tidak nyata. Yang kasat hanyalah rentetan angka-angka di balik layar monitor. “Alam digital yang dingin ini terserap (dan) mengalahkan prinsip realitas” (Baudrillard, 1983: 152). Begitupun seperti kata Gekko di atas.
Stone di sini ingin menunjukkan bahwa seorang Bud akhirnya menjadi dirinya sendiri lagi. Seperti perbincangan Bud dengan gekko di bagian akhir:
Gekko  : ‘Bagaimana kabarmu Bud? Kamu membawaku ke Bluestar. Saya pikir kamu mengira sebagai guru yang mengajarkan bahwa ekor dapat mengibaskan anjing……. Kamu dapat menjadi besarsatu yang besar. Saya melihat itu pada dirimu dan pada diriku sendiri. Mengapa?’
Bud       : ’Saya nggak tahu. Saya sadar (sambil menyela keringat) saya hanyalah Bud Fox. Meskipun saya ingin menjadi Gordon Gekko, saya akan tetap menjadi Gordon Gekko (melempar sapu tangan dan lantai, kemudian pergi).’
Walaupun percakapan di atas nampak terlalu berlebihan, dapat ditarik argumen bahwa dunia modern dengan teknologi dan informasinya telah membuat individu atau masyarakat luput dari realitasnya. Dengan hadirnya Carl Fox (ayah Bud) yang menjadi seorang pahlawan dalam mengembalikan manusia ke dalam nilai-nilai awal, begitupun realitasnya.

Postmodernisme dalam Konteks Indonesia



Postmodernisme dalam Konteks Indonesia
by: Tatang Agus Bahri
Jika kita melihat dan menelaah konteks politik hari ini, masalah posmodernisme juga kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalitasnya menghendaki semua negara menerapkan sistem demokrasi. Namun demokrasi yang  diperjualbelikan adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika Serikat juga didaulat, maka tidak pantas disebutkan mendaulatkan diri, sebagai negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka Sistem demokrasi harus dianut terlebih dahulu. Jadi, negara manapun yang ingin menghargai hak asasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika. Ini dikarenakan Amerika lagi-lagi dianggap sebagai negara terdepan dalam pengimplementasian demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih menjadi anggota United Nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
 Tidak ada masalah jika negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikkan sistem lain seperti Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka suatu negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) tidak mau menjunjung tinggi HAM—tidak mau menganut demokrasi—maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia.
Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari modernisme. Ini terlihat dalam modernisme sendiri terdapat satu ciri penting: universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter penting dari modernisme: Oposisi Binner—jika A benar maka B salah. Modernisme beranggapan bahwa demokrasi Amerika sudah benar, maka sesuai dengan prinsip Oposisi Binner, semua sistem diluar itu adalah SALAH.
Tentu mustahil untuk menerapkan satu sistem yang dengan diwajibkan bagi setiap negara dengan pluratisa dan warna yang beragam. Seperti halnya Inggris, negara ini masih menganut sistem kerajaan. Selain itu juga dengan Indonesia dengan multikulturalisme yang sangat beragam. Dalam konteks ini, postmodernisme menawarkan satu prinsip baru: Paralogi. Paralogi adalah bahwa semua bias hidup dalam keberagaman. Keberagaan ini dibingkai dalam prinsip multikulturalisme, seperti prinsip Indonesia: Bhineka Tunggal Ika—berbeda-beda tetapi tetap satu jua..

TEORI PILIHAN RASIONAL (James S. Coleman)



TEORI PILIHAN RASIONAL (James S. Coleman)
                                                                           Oleh: Tatang Agus Bahri                
Teori pilihan rasional merupakan teori panas di dalam kajian sosiologi kontemporer. Teori ini merupakan usaha dari salah satu tokoh yaitu James S, Coleman (Ritzer, 2012). Coleman membuat sebuah jurnal “Rationality and Society” yang dibaktikan untuk penyemaian karya dari suatu perspektif pilihan rasoinal. Karena alasan lainnya Coleman telah menerditkan buku yang sangat berpengaruh “Foundation of Social Theory” yang didasarkan pada perspektif trsebut (Coleman, 1990). Coleman beranggapan bahwa untuk melihat problem makro maka kita harus mengkaji lebih dulu problem mikro, karena problem mikro lah yang mengawali kajian kita agar sampai pada problem makro. Karena fokusnya pada individu, Coleman adalah seorang individualis metodis yang sambil fokus pada faktor-faktor internal pada fenomena level mikro.
Orientasi besarnya pilihan rasional Coleman memiliki ide dasar bahwa “orang-orang bertindak secara sengaja kearah suatu tujuan, dengan tujuan itu dibentuk oleh nilai-nilai atau pilihan-pilihan” (Coleman, 1990b: 13). Para aktor akan melakukan tindakan-tindakan dalam rangka memaksimalkan manfaat, keuntungan serta pemuasan pada kebutuhan-kebutuhan mereka. Oleh karena itu ada dua unsur yang harus ada dalam teori ini yaitu aktor dan sumber daya. Tentu sumber daya yang dimaksud dapat dikontrol oleh sang aktor. Coleman memerinci bagaimana interaksi mereka mendorong pada level sistem, ini tentu akan menghubungkan isu mikro-makro. (Ritzer, 2012).
Beberapa contoh kasus yang digunakan oleh Coleman untuk menperjelas bagaimana teori pilihan rasoinal. Pertama adalah perilaku kolektif, perilaku kolektif adalah isu makro yang dapat dilihat dari sisi mikro individu pelakunya. Munculnya perilaku kolektif karena aktor menilai perlu menyandarkan kepentingan atau tujuannya kepada individu lain agar mendapat keuntungan yang maksimal tanpa harus malakukan usaha yang besar. Kedua adalah norma-norma, norma dalam kelompok sosial adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh aktor agar individu lain mengontrol kendalai dari aktor agar efektifitas menjadi meningkat dan memunculkan konsensus yang mencegah ketidak seimbangan. Ketiga adalah aktor korporat, munculnya seorang aktor korporat adalah upaya dari kelompok sosial untuk mendorong sang aktor secara bersama-sama. Ketika aktor berkompetisi dalam pemilihan maka proses pemumutan suara individu-individu adalah isu mikro menuju makro.
Penekanan Coleman pada pandangan bahwa individu adalah homo sociologicus mendorong persfektif pilihan rasional pada proses sosialisasi yang akrab diantara individu dan masyarakat. Kontrasnya homo ekonomicus dalam pandangan Coleman harus diperjelas. Ini semua upaya Coleman untuk menyerang teori sosial tradisional yang hanya melantunkan mantra-mantra yang sudah tidak relefan dalam perjalanan perubahan masyarakat saat ini (Ritzer, 2012).
 Ada tiga kritikan yang muncul dari teori Coleman ini. Pertama, Ia terlalu berlebihan memberi perhatian pada hubungan masalah mikro-makro dan sedikit mengabaikan hubungan yang lain. Kedua, Ia mengabaikan hubungan makro-makro. Ketiga, hubungan sebab akibatnya hanya menuju pada satu arah, dengan kata lain dia mengabaikan dilektika dikalangan fenomena mikro-makro (Ritzer, 2004).
Sumber: Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 
Design by fthemes
Bloggerized by Seo Lanka and Blogger Template