Wall Street,
Antara yang Nyata dan Ilusi
by Muhammad Aqibun Najih
by Muhammad Aqibun Najih
“Realitas
sekarang tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menggambarkan penampakan
realitas; realitas menangkap setiap mimpi bahkan sebelum ia menggambarkan
penampakan mimpi” (Baudrillard 1983: 152).
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBkd75mfRZRx56SySo7NXiDCLJT4Q1B7STVC-dola-Ii800buGlLDLwcbMQZIgslcEJpCFC_yrdNtj__m7XLn9RGNQC0zLOzlKu3Q760qxUiulWRfDcYVJGfeZMM6VBX7XyJRfm5DSLDsv/s1600/index.jpg)
Wall Street mempersembahkan sebuah fenomena menarik
yang terjadi di Amerika pada tahun 1980an, yakni persaingan perusahaan pialang.
Bud Fox, tokoh utama dari kelas pekerja, mengutarakan mimpinya: “Mimpi saya
adalah suatu ketika berada di puncak segalanya.” Film yang mulai dibuat pada
tahun 1985 ini menampilkan ambisi seorang kalangan pekerja yang ingin sukses secara
instan lewat pialang (jual-beli saham).
“Ilusi telah menjadi nyata, dan semakin nyata
ilusi tersebut, semakin nekat orang menginginkannya” (kata
Gordon Gekko)
Ya, Gordon Gekko adalah tokoh pialang korup
yang didolakan Bud. Karena sifat fanatis pada Gekko, Bud pun mengikuti segala
petuah yang diujarkan Gekko—bahkan untuk membeli 200 saham Bluestar milik
ayahnya. Informasi, istilah ini sangat penting dalam perusahaan mereka. Dengan
informasi mereka dapat menjalankan bisnis gelap yang memang “menguntungkan.” Tetapi
Bud kemudian akhirnya tertangkap karena melakukan perdagangan saham gelap yang
telah dirintis oleh Gekko. Setelah berada di pengadilan, akhirnya Bud diberi
pengampunan oleh ayahnya walaupun akhirnya tetap ditahan karena kesalahnnya.
Inilah yang dimaksud dengan “Wall Street”.
Sebuah tempat dimana ekonomi politik tak henti-hentinya berputar di sekitar
ruang komputer imajiner dengan mahluk-mahluk imajiner dan tak ada lagi yang
nyata. Uang dalam konteks ini pun tidak nyata. Yang kasat hanyalah rentetan
angka-angka di balik layar monitor. “Alam digital yang dingin ini terserap
(dan) mengalahkan prinsip realitas” (Baudrillard, 1983: 152). Begitupun seperti
kata Gekko di atas.
Stone di sini ingin menunjukkan bahwa seorang
Bud akhirnya menjadi dirinya sendiri lagi. Seperti perbincangan Bud dengan
gekko di bagian akhir:
Gekko :
‘Bagaimana kabarmu Bud? Kamu membawaku ke Bluestar. Saya pikir kamu mengira
sebagai guru yang mengajarkan bahwa ekor dapat mengibaskan anjing……. Kamu dapat
menjadi besarsatu yang besar. Saya melihat itu pada dirimu dan pada diriku
sendiri. Mengapa?’
Bud :
’Saya nggak tahu. Saya sadar (sambil menyela keringat) saya hanyalah Bud Fox.
Meskipun saya ingin menjadi Gordon Gekko, saya akan tetap menjadi Gordon Gekko
(melempar sapu tangan dan lantai, kemudian pergi).’
Walaupun percakapan di atas nampak terlalu berlebihan, dapat
ditarik argumen bahwa dunia modern dengan teknologi dan informasinya telah
membuat individu atau masyarakat luput dari realitasnya. Dengan hadirnya Carl
Fox (ayah Bud) yang menjadi seorang pahlawan dalam mengembalikan manusia ke
dalam nilai-nilai awal, begitupun realitasnya.